Terkejutlah hari itu Ainun, mendapati apa yang sudah dilakukannya ternyata masih jauh dari apa yang sahabatnya sudah lakukan. Al-Ma’tsurat setiap hari satu kali, 1 juz setiap harinya [walau pun beberapa kali kurang 2-3 lembar] dan sekian amalan lainnya bablas… Sahabatnya itu ternyata memiliki amalan yang super dahsyat, hafalan Al-Qur’an. Dan Ainun tak sempat pula berpikir sejauh itu. Bukan hanya kali itu, dulu, sahabatnya yang lain pula, menunjukkan makna kesabaran dengan sangat gamblang. Begitu banyak pujian “sabar” disematkan kepada Ainun, namun semua itu rontok tak berbekas demi mendengar perkataan sahabatnya. “Mungkin saja dia terlambat karena kecapean. Sudahlah… Toh walau acara kita gagal kali ini, minimal ukhuwwah kita tetap terjaga. Nanti kita tabayyun saja kepada yang bersangkutan.” Perkataan itu diucapkan dengan tenang, sementara 1 jam lagi acara yang telah dipersiapkan berminggu-minggu akan segera dimulai. Mempesona di setiap saat... Demikian kesimpulan Ainun atas sahabat-sahabat barunya itu. Seakan-akan dirinya dipacu untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Dan dengan kecepatan maksimum tentunya. Entah energi macam apa yang ada pada kelompok baru yang menjadi sahabatnya ini. Tersenyum di kala kerunyaman menggunung, bersabar di kala emosi sudah di ubun-ubun, dan tetap istiqomah dalam amalan harian yang seringkali dilupakannya dulu. Semenjak saat itulah, hatinya telah jatuh ke dalam persahabatan yang penuh cinta. Persahabatan yang mampu mengubah tutur katanya menjadi sangat santun, terutama kepada orang tuanya. Persahabatan yang tak hanya memupuk kesenangan, tapi juga menimbun sejuta cita tentang masa depan. Persahabatan yang memberikan rahasia sumber energi untuk mencapai citanya. Dan terkuak sudah sedikit jawaban atas pertanyaannya : ”Mau ke mana gerangan hidupmu, Nak?” Dan kini, Ainun telah tumbuh besar. Bergabung dalam gelora perjuangan yang sama dengan sahabat-sahabatnya. Telah didapati pula pertentangan-pertentangan yang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Namun ia bersabar... Sama seperti sabarnya gerakan ini mendidik dirinya dulu. Sama seperti sabarnya sahabat-sahabatnya menerima dirinya apa adanya dulu. Angin terasa semakin besar... Itulah yang akan dirasakan pohon yang semakin tinggi. Sudah sunnatullah, tiada guna berkeluh kesah. Maka, seperti biasanya, sore itu dengan riang dia masih berjalan menuju tempat pengajiannya. Masih dengan perasaan rindu yang sama; seminggu sudah tidak bertemu sahabat-sahabatnya yang baru, di kota baru. Tak ia hiraukan hiruk-pikuk fitnah yang bertebaran. Karena ia yakin, patokan ukuran bukanlah insan, melainkan manhaj. Karena ia mengetahui pula, sia-sia lah mereka yang berharap pada makhluq sementara Yang Abadi menanti di ”ujung jalan”. ”Apalah yang aku risaukan?”, pikir Ainun.. ”Sama seperti yang pernah diungkapkan Hasan al-Bashri, aku pun tak pernah risau dengan amalan orang lain. Cukuplah kulakukan amalku dengan itqon, maka perubahan kuyakini akan terjadi.” Langkahnya dipercepat, sudah terbayang candaan2 dengan sahabatnya dan agenda2 yang terumuskan dengan santainya, untuk perbaikan ummat; yang sungguh2 sedang ia coba cintai, lebih dari cintanya kepada dirinya... Meniru qudwah-nya : Muhammad SAW
Catatan : duhai ikhwah... begitu banyak Ainun-Ainun di sekitar kita janganlah abaikan energi cintanya karena hanya masalah dunia... Astaghfirullah... ~ akhukum filLah, masih dengan cinta yang sama ~ |