Ukhuwah, kita sudah biasa mendengar, membicarakan dan mencoba melakukannya. Kita mengenal kisah tiga mujahid yang masih mendahulukan saudaranya di saat-saat akhir regangan nyawa sebagai salah satu hikmah terbaik ukhuwah. Kita juga mengetahui kelapangan hati Kaum Anshar untuk membagi semua yang dimilki setelah kedatangan saudaranya, Muhajirin. Di masa kini, kita bisa ikut berpastisipasi dengan memberikan setidaknya satu dolar kepada saudara seiman di Palestina.
Lalu apa lagi tentang ukhuwah? Ukhuwah, adalah bentuk persaudaraan atas dasar keimanan dan keislaman, bukan atas dasar wilayah, suku atau batasan-batasan lain. Seperti yang Allah firmankan dalam Q.S Al-Hujurat [49] : 10, ” Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu ...”
Seorang saudara mengatakan, ukhuwah tak perlu banyak dibicarakan, kita hanya perlu melakukannya. Tapi, untuk melakukan dengan yang lebih baik, pembicaraan mungkin ada kalanya diperlukan.
Ukhuwah itu sederhana, mudah, simpel, tidak ribet dan praktis. Tidak harus benar-benar meniatkan ”ini ukhuwah” untuk melakukan bentuk ukhuwah. Tidak harus pula bentuk-bentuk yang kita melihatnya luar biasa, penuh Tadhiyyah, layaknya kisah sahabat Rasul diatas.
Dengan memulai lingkungan terdekat kita, ukhuwah itu terejawantah. Muslim sekelas kita, se-prodi, se-wajihah, se-angkatan dan yang pasti saudara liqoat kita. Barangkali kita tidak perlu berbagi sebagaimana Anshar-Muhajirin. Tapi kita cukup menanyakan gimana kabarnya, kuliahnya, amanahnya, atau keuangannya. Simpelnya, kita hanya butuh ber-empati.
Pernahkah kita benar-benar mengecek, siapa-siapa ADK yang bermasalah karena belum melunasi SPP-nya? Mungkin saja saudara kita tidak bisa hadir pertemuan ADK karena tidak ada ongkos naik angkot. Atau terdapat ADK yang ”tergelincir” dalam maksiat, dan kita hanya bisa tidak habis pikir. Yang menyesakkan, saudara itu bisa jadi saudara se-prodi, se-angkatan, se-wajihah atau bahkan, se-liqo kita!
Alangkah sia-sia, Rabithah yang panjatkan setiap pagi. Padahal kita berjanji untuk mencintai dan bersama-sama membela syari’at-NYA. Betapa bohongnya, tangis-tangis kita di akhir daurah. Dan betapa tidak sejati, do’a kita untuk menjawab salam saudara saat kita bertemu dengannya. Apa bedanya, dengan yang diberitakan Allah, "Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti." (Al-Hasyr [59] : 14)
Jangan sampai karena banyaknya jumlah ADK di kampus atau masyarakat, lalu perhatian kita tercerai. Karena tugas dan taklif dakwah atau aktivitas lain, kita menjadi sholeh pribadi. Padahal, seberapa sholehnya kita, dosa kita masih sangat banyak. Sangat mungkin surga kita terdefinisi dalam pita-pita ukhuwah. Seperti halnya Saad bin Abi Waqqash yang mengikhlaskan kesalahan saudara-saudaranya hari tersebut di setiap malamnya. Dan dialah penghuni surga, itu yang dikatakan Rasulullah.
Semoga bukan karena kita sudah yakin tidak bisa membantu memecahkan masalahnya, lalu kita berdiam diri? Sungguh sebuah ukhuwah semu, yang hanya bertemu dalam kecerahan dan menjauh ketika keterpurukan. Menghindarnya kita, justru membuat saudara kita makin menjauh. Na’udzubillah, bila itu memicu ”kendornya” aktivitas dakwah yang digeluti. Dan itu, sedikit banyak karena kita!
Bahkan ketika saudara kita sengaja atau tidak, lama atau sebentar, memutuskan ”menepi” dari gerbong dakwah ini. Apakah kita akan menjauhinya secara berjama’ah? Lalu, dengan tenang kita berkata, ”dia kan harusnya sudah paham”. Hujjah kita pun mantap, kisah Kaab Bin Malik yang didiamkan oleh Rasulullah karena urung berjihad.
Wahai saudaraku, dakwah ini tidak hanya dibangun oleh orang-orang saat ini. Dakwah ini adalah hasil usaha, do’a dan tawakal orang-orang terdahulu. Jika sekarang, kita sedang ”dalam gerbong” dan orang-orang terdahulu yang memegang amanah kunci, sekarang di ”luar gerbong”, apakah itu akan menghapuskan segala kontribusinya di masa lalu? Karena dakwah saat ini dibangun oleh banyak orang, bukan hanya orang-orang yang masih terlibat sekarang.
Harusnya masih ada keyakinan bahwa hati-hati mereka masih tertambat dalam dakwah ini. Jikalau diminta bantuan, besar kemungkinan mereka melakukannya. Ingat, dia bukanlah murtad atau lari dari medan perang. Dia tetaplah muslim, dan berarti punya hak ukhuwah. Kedekatan yang pernah kita jalin sebelumnya, seharusnya menjadikan kita untuk mengetahui alasan di balik itu. Dan semua penilaian bukan oleh manusia, Allah-lah yang Maha Tahu dan Adil.
Sama halnya dengan kita sekarang, seharusnya menjadikan kita menjadi orang yang bisa memahami keadaan satu angkatan, satu kampus, satu wajihah, atau yang sangat penting (setidaknya), saudara satu halaqoh kita. Sehingga bila ada masalah atau ketergelinciran, maka seharusnya kita lah yang menjadi salah satu orang yang merasa paling bertanggung jawab pertama kalinya.
hidup selalu punya cerita, tidak perlu lagi berpura. jika ukhuwah menjadi prasayarat hidup, aku butuh hidup macam ini. dalam kesendirian, bisa saja terjadi hujan emas. dan akan kukatakan pada langit, hujan ini tak dibutuhkan... [the_as]
|