Friday, May 18, 2007 |
Memahami akademik dan keprofesian |
Entah sejak kapan, kata ‘keprofesian’ mulai banyak didengang-dengungkan di kalangan penggiat dakwah kampus. Kadang-kadang kata itu disandingkan dengan ‘akademik’, menjadi dua kata sakti, yang kadang dijadikan pembenaran atau malah dipakai untuk menyalahkan (bagi yang tidak ‘tawazun’): keprofesian dan akademik. Apa sejak disadari bahwa para ADK itu ahli, kecuali di bidang profesinya? Dinilai bagus oleh semua orang, kecuali oleh dosennya? Atau sejak dakwah ini konon memasuki fase selanjutnya, menjelang fase dauliy katanya, sehingga dibutuhkan para ahli yang kompeten? Atau malahan sejak peraturan batas menjadi mahasiswa maksimal 7 (lalu 6) tahun, dan lebih dari 5 tahun membayar SPP (yang sudah cukup mahal itu) 2 kali? Entahlah. Yang jelas dua kata itu sudah mewabah,yang sering kita dengar, masuk ke telinga kita, diserapi nalar kita, dikeluarkan mulut-mulut kita, dan bahkan menjadi paradigma(?). Kita pernah mendengar: syuro akademis dan profesi, mas’ul akademis-profesi, organisasi keprofesian, visi keprofesian. Tapi, sebenarnya apakah ‘akademis dan keprofesian’ itu? Apakah ia: Keahlian? Kompetensi? Belajar yang rajin? IPK tinggi? Riset? Lomba-lomba keilmuan? Lalu kenapa, ia seolah sangat berbeda, bahkan beberapa bilang agak ‘bertentangan’ dengan dunia aktivitas, ‘dunia gerakan’?
Tulisan ini merupakan ikhtiar sederhana penulisnya untuk memahami tentang ‘akademis dan keprofesian’ (selanjutnya akan disingkat ‘akpro’) ini. Beberapa mungkin heran, kenapa tema akpro ini koq di kolom Muharik, yang menurut TOR-nya: mengarahkan momentum apapun menjadi ide pergerakan. Bukannya beda banget ya, antara akpro dan ‘gerakan’? Mari kita pahami bersama.
Zaman Yunani dulu, di Athena terdapat bangunan khusus tempat Plato mengajarkan ajaran-ajaran filosofisnya. Akademeia, nama bangunan itu, kemudian dipinjam oleh peradaban Barat yang merupakan penerus Yunani-Romawi itu menjadi academy dalam bahasa Inggris, yang para anggotanya disebut academicien dalam bahasa Prancis, dan di Indonesia secara memalukan kata akademia malah dipakai untuk menyebut para calon bintang AFI. Dalam Oxford dictionary, academic artinya 1. scholarly, of learning. 2. of no practical relevance; theoretical.
Dari sini, kita dapat menyimpulkan apa sih yang dimaksud dengan akademik secara bahasa, yaitu yang berhubungan dengan teori, persekolahan, perkuliahan, belajar (di sekolah dan sejenisnya), dll. Lalu apa arti keprofesian? Konon kata profesi berasal dari proficio (bahasa Latin) yang artinya advance, “maju”, atau “ahli”. Profesi sendiri bisa diartikan secara sederhana sebagai pekerjaan, hal yang paling ahli dilakukan oleh seseorang, atau malah sebuah calling, panggilan. Kita sering dengar, “lakukan secara profesional!”, artinya ya lakukan “seahli-ahlinya, sebaik-baiknya”. Ada yang pernah bilang, apapun dia jadinya nanti, profesinya tetap da’I, karena ia merasa itulah panggilannya. Seorang sahabat pernah mengeluh dengan yang dia sebut ‘fokus kepada akademis dan keprofesian’, yang dalam persepsi beliau (atau malah semua kita?) adalah belajar kuliah dengan rajin, sehingga mendapat nilai baik (minimal IP diatas 3.5 lah…), dan menjadi kompeten di bidang profesinya. Katanya lebih lanjut, “ya emang itu semangat yang terasa sekarang…”. Ia, seperti juga beberapa teman yang lain, khawatir dengan menanjaknya wacana akpro ini mengancam dunia aktivitas, dunia ‘gerakan’. Atau malah menyempitkan sudut pandang ADK, sehingga menjadi sangat mengutamakan nilai-nilainya dan IPK-nya dulu.
Waduh, kalaulah memang seperti itu, gawatlah nasib Dakwah Kampus kita!
Namun, sebenarnya tidak. Bukan seperti itu maksudnya. Ketika akademik diartikan sebagai yang berhubungan dengan persekolahan, perkuliahan, atau belajar di insitusi pendidikan, maka pertanyaan selanjutnya ialah apa sebenarnya tujuan adanya institusi pendidikan ini? Menggapai rata-rata nilai yang tinggi untuk mahasiswanya kah? Jumlah doktor yang banyak kah?
Menurut Naquib al-Attas, tokoh terkemuka pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam itu personal, mendidik manusia. Pendidikan Islam tidak ditujukan untuk masyarakat, berbeda dengan pendidikan liberal barat, juga berbeda dengan pendidikan liberasionis ala Freire yang orientasinya ke masyarakat. Yang pertama untuk mengisi pos-pos yang ada di masyarakat, yang kedua untuk menyadarkan struktur penindasan (fisik, ataupun mental) yang terjadi di masyarakat. Tujuan pendidikan Islam ialah mendidik manusia, yang ia merupakan bagian dari masyarakatnya (karenanya kita dapat menarik kesimpulan masyarakat pun secara inheren telah masuk dalam pendidikan Islam), dan juga ia adalah makhluk 4JJI yang akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya secara personal sebagai manusia di hari akhir kelak. Karenanya, Nabi pun diutus untuk menyempurnakan akhlak. Membentuk karakter kita. Menekuni hal-hal akademis dalam institusi pendidikan, pada esensinya, ya berarti berusaha mendidik akhlak kita, membentuk karakter kita. Bukan nilai tinggi, bukan lulus cum laude (meskipun itu juga sangat bagus!).
Lalu bagaimana dengan keprofesian? Ingat, dalam pengertiannya, profesi tak sekedar keahlian atau kompetensi belaka. Profesi juga sebuah calling, panggilan jiwa. Dari dalam. Karenanya jangan heran, karena profesi adalah panggilan dari dalam, ada atribut-atribut sifat-sifat mulia dalam tiap profesi, yang dinyatakan secara formal ataupun yang tersirat. Seorang dokter mengucapkan sumpah Hippocrates, janji ia untuk jujur dan ikhlas menjalankan profesinya. Pengacara punya kode etik pengacara, yang amanah menjaga rahasia klien. Engineer mungkin tak punya sumpah insinyur, tapi ya secara tersirat seharusnya seorang insinyur berkarakter sebagai problem solver. Lagi-lagi kita menjumpai serangkaian kata sifat, yang merupakan karakter juga. Akhlak juga.
Sama saja tho dengan yang biasa kita pahami saat beraktivitas? Dimana pun kita beraktivitas, semuanya jadi sarana kita untuk tadhrib amal. Dengan beraktivitas kita berlatih meningkatkan kepekaan kita, berlatih memahami orang lain dan diri sendiri, berlatih mengenali lingkungan, berlatih bersabar, berlatih berempati, berlatih…membentuk karakter kita!
Semuanya terangkum dalam harakah, dalam gerakan. Kenapa? Sederhana, karena semuanya hal di atas tak ada yang bisa dilakukan tanpa gerakan. Tanpa gerakan sel-sel kelabu kita untuk berpikir, otot kita untuk berjalan, mulut kita untuk berteriak menentang kezaliman.
Yang gawat adalah ketika kita memahami secara terpisah, dan melupakan tujuan pendidikan Islam, juga alasan syiar Nabi: menyempurnakan akhlak. Karenanya Muharik pun bukanlah ‘kolom kemahasiswaan’, tapi jelas kolom gerakan. Gerakan bukan menjadi monopoli yang beraktivitas saja, seperti juga akpro yang tidak berarti pencapaian kompetensi belaka. Semuanya dalam rangka mentarbiyah diri kita.
Wallahu a’lam bis showaab, Dan Hanya ALLAH Yang Maha Mengetahui. (lucky luqman) |
posted by cerita dakwah kampus @ Permalink ¤09:40 |
|
3 Comments: |
-
Postingannya Lucky banget deh :). jadi intinya meskipun porsi terbesar mahasiswa adalah kuliah, namun jangan dilupakan identitas kita sebagai ADK, gitu Dek Lucky? Jangan lupa bahwa Mahasiswa berperan dalam mengusung sebuah gerakan intelektual, apalagi yang namanya ADK, jelas tertulis "aktivis", yang siap turun ke jalan menentang kezaliman penguasa. Jadi memang ADK itu dituntut untuk serba bisa, akademis OK di jalanan juga OK...Kalau mau mendem di Lab mulu mah ganti aja namanya jadi PDK, Pasivis Da'wah Kampus, he he
-
Bismillah,
mendem di lab. tidak melulu PDK kang gie, toh kalau ternyata di lab objek dakwahnya lebih potensial daripada di luar lab, aktiv juga kali ya...
nah klo mendemnya sampe-sampe membuat diri jadi "kuuleun"(maaf tidak tahu terjemahan sunda -->indonesianya) baru deh PDK...
-
karena para ADK juga kadang ga nyadar kalo akpro itu penting juga postingannya keren niy jadi nambah ilmu tentang akrpo ayo semangat galkkan akpro!! hehe
|
|
<< Home |
|
|
|
|
|
about me |
dakwah bukan hanya amanah dan kesempatan, melainkan juga sebuah anugerah. dan karenanya pula manusia berhak untuk menikmati indahnya... |
Udah Lewat |
|
Archives |
|
Rosail |
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang maâ??ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah ..." (QS. Ali Imran [3] : 110)
"Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ..." (QS. An Nahl [16] : 125) |
Links |
|
Beranda |
Berbagilah, karena cerita ini akan menjadi hikmah bagi saudara kita. jangan kau simpan itu, dan tidak membuat saudaramu merasakan nikmatnya kisahmu...
cerita.dk@gmail.com
subyek: cerita...
Blog ini makin hidup, jika kita menjalin pertisipasi bersama. Seperti halnya sebuah rumah teduh, dengan kicauan burung di berandanya |
Komentar |
|
Kontributor |
Ingin Menjadi kontributor? Silahkan kirim mail kesanggupan dengan nama jelas.
|
Kesan |
| |
Postingannya Lucky banget deh :).
jadi intinya meskipun porsi terbesar mahasiswa adalah kuliah, namun jangan dilupakan identitas kita sebagai ADK, gitu Dek Lucky?
Jangan lupa bahwa Mahasiswa berperan dalam mengusung sebuah gerakan intelektual, apalagi yang namanya ADK, jelas tertulis "aktivis", yang siap turun ke jalan menentang kezaliman penguasa. Jadi memang ADK itu dituntut untuk serba bisa, akademis OK di jalanan juga OK...Kalau mau mendem di Lab mulu mah ganti aja namanya jadi PDK, Pasivis Da'wah Kampus, he he