Tiba-tiba sebuah pesan YM masuk. Dari “adik”. Sudah lama tidak berbincang, kalau dibandingkan dengan kedekatan geografis antara kami. Kali ini, dia mengajak untuk bertemu.
“Ada sesuatu yang penting mas. Butuh masukan dan dukungannya,” begitu pesannya.
“Ada apa nih?” balasku, walaupun aku sudah punya sebuah praduga.
Kami bertemu. Aku coba menatap, membaca mata dan wajahnya. Tepatkah gerangan dugaanku? Setelah malu-malu, meluncurlah pelan, sedikit demi sedikit kisah itu.
“Mas sudah tahu, entah dari mana. Kalau saya punya hubungan ”dekat” (jari tangannya membuat sebuah apostrop) dengan seorang perempuan?”
”Ya, sudah tahu.”
”Oiya? Darimana?” tanyanya mulai tertarik.
”Ikan tetap tercium walaupun ditutup koran.”
Setelah menarik nafas panjang dan tersenyum, akhirnya dia berkata. ”Saya memutuskan untuk menyelesaikannya. Cukup sampai disini. Semua tidak sesuai dengan yang direncanakan. Tentang menopang bersama dan lain-lainnya”
Alhamdulillah, Ya Allah. Dia berniat melakukannya. Hal yang sudah lama kunantikan. Ini adalah kabar terbaik setelah bulan Syawal ini. Bersanding sebelumnya di Ramadhan, mendapatkan seorang teman yang cerita panjang lebar, proses setengah agama –nya dengan seorang ”kakak”.
Kami masing-masing tersenyum cerah. ”Nah...butuh bantuan nih mas…!” katanya menegaskan.
”Apa lagi yang harus saya bantu? Kan udah bisa ambil keputusan sendiri. Atau ada yang mempengaruhi?”
”Ya..pengaruh mah ada. Dari tarbiyah, teman serumah, departemen, atau lainnya. Tapi kesadaran ya muncul sendiri. Bahkan ada teman yang bilang, ”jika dengan pacaran, Allah banyak menegur orang dengan kejatuhan-kejatuhan baru kemudian sadar. Mungkin untuk kamu, tak perlu ditegur dengan kejatuhan. Karena akan sadar sendiri.” ”
”nice quote. so...what else?”
”Saya masih belum nemu, gimana cara ngomong yang baik ke dia. Tentu harus ada cara yang baik” wajahnya menampakkan kebingungan.
”Hmmm, memang sebaiknya hati-hati. Jangan sampai untuk tujuan baik, kita melakukan dengan tidak baik”
”Maksudnya?”
”Ya...jangan buat sangat menyakitinya. Kepahaman itu harus di-share. Tapi kepahaman pun harus dibahasakan dengan baik”
”Sepertinya gimana, kalo langsung to the point. Tapi saya belum nemu, gimana bahasanya. Makanya nih, butuh bantuan”
Oh…masalah bahasa. Aku juga bukan ahli bahasa. Tapi senang, ada sebuah kepercayaan disana. Dan pastinya, kesempatan untuk berbagi.
”Pada dasarnya semua manusia punya hati. Nah, Mari berusaha untuk tidak menyakiti hati manusia. Apalagi ini hal yang sensitif. Bisa-bisa, setelah kamu bicara dengannya, 180 derajat ia akan menjauh. Komunikasi sebuah tindakan mahal. Dan…kebencian itu akan sangat besar. Siapa sih yang mau, cinta yang merasa dia bangun terus dikandaskan, justru oleh orang yang dicintainya.” Apalagi wanita, konon cenderung ingin sebuah kepastian dan kesegeraan.
“Ya…sepakat mas. Makanya itu. Jadi gimana? Masa mau langsung bilang, kita udahan sekarang. Jadi teman aja. Atau ada yang ngasih saran, untuk menjalaskan bahwa semua ditangan Allah. Kalau masih jodoh, insyaAllah akan bertemu lagi di masa depan.”
Wah.., sudah masuk cukup dalam diriku sekarang.
“Kalau menurut saya, orang yang ‘tersakiti’ itu tidak bisa berpikir wajar. Walaupun itu hal yang benar, tentang jodoh dan masa depan, tapi itu kelihatan klise. Benar, terlihat klise. Bisa bayangkan? Mungkin ia punya pikiran dan bilang ke kamu. “Kenapa kalau ingin putus sekarang,ngomong-ngomongin masa depan? Kalau mau putus, ya putus aja. Ga perlu bla bla. Emang ngapain dulu ngajak jalan bareng?” atau, “emang apa yang kita lakukan bukan sebuah usaha untuk menata masa depan?” sekali lagi, kita berhadapan dengan orang yang akan ‘tersakiti’. Nah..tapi gimana ya.. menyampaikan esensi tersebut dalam bahasa yang lebih baik?”
Kami terdiam berpikir sejenak. Aku sendiri sengaja, tak segera menyampaikan. Menunggu aliran nafas yang tepat.
“Ada juga saran mas. Untuk mengondisikan lewat teman atau sahabatnya. Ya..mungkin akan sakit pada saya. Tapi ntar lama-lama juga bakal dipahamkan sama sahabatnya. Tapi ini memang harus dilakukan.”
“Ya..itu harus. Tapi tetap, kamu bilang sendiri juga. Masa ga berani!“ “Gini aja, kita sampaikan esensi tentang ketidaktepatan hubungan dekat ini, jodoh dan masa depan dengan bahasa yang lain.”
“Gimana?” tanyanya penasaran.
“Begini. Kamu sampaikan bahwa tindakan berduaan dan bentuk hubungan selama ini sudah terlalu jauh. Sungguh sanagt berbeda dengan apa yang dirangkai dulu. Tentang menggapai impian bersama…bla…bla. Dan di pandangan orang lain, tentu hal itu tidaklah baik. Itu yang pertama”
“Yang kedua. Pada dasarnya manusia, entah dia sudah berapa tahun liqo, berapa banyak hafalan, betapa bersih dan sholehnya dia-tapi kamu ganti liqo dll dengan apa gitu-, pasti punya ‘kecenderungan’ atau rasa simpatik. Kalaupun tidak lama, setidaknya pernah. Saya percaya itu. Entah karena satu kegiatan, kepanitiaan, atau ketemu dimana. Dan dengan kecenderungan itu, manusia punya harap. Dan ketika akhirnya ‘hidup bersama’ dengan orang yang kita cenderung tadi, pun bukan dosa. Selama caranya dan harapan dipelihara dengan benar, yaitu dengan apa yang telah Islam ajarkan. Jadi, silahkan jujur juga padanya”
“Jujur gimana mas?” wajahnya makin penasaran.
“Bilang, ”kalau sekarang kita putus adalah sebuah keharusan. Sesuai dengan apa yang harus kita yakini, Islam. Dan karena semua punya kecenderungan, saat ini pun saya punya kecenderungan. Jika memang ini cinta sejati, dan Allah menjaganya, maka kita akan bertemu lagi. Tinggal berdo’a dan kita buktikan saja.” tapi awas, jangan buat seolah-olah kamu berjanji kepadanya. Jangan memberi harapan. Biarkan masing-masing memupuk harapannya. Sekali lagi, kalau ini sejati dan Allah menjaganya, masa depan insyaAllah dekat. Gimana?”
Sengaja, aku tidak menghunus pedang layaknya Abu Bakar memerangi kaum murtad, atau Khalid membongkar tentara romawi. Atau Umar, yang memberikan goresan lurus di atas tulang kering dengan pedangnya untuk mengingatkan Muawiyah. Islam adalah Islam, dan manusia adalah manusia. Islam sesuai fitrah manusia.
Ya Allah... Semoga cara ini jalan yang benar dan baik. Tidak sangat benar memang. Semoga baik.
”Ya, mas. bisa itu. Bisa. Ada lagi ga mas?”
“Ya…bisa kamu tambah-tambahin sendiri lah. kesana kemari nya..gimana lah. Kalau kamu di akhir pembicaraan bisa membuat semua berjalan baik, tak ada marah, tak ada air mata, tak ada pergi tiba-tiba, kamu telah melakukannya dengan baik. Thumb up!. Dan setelah itu, jangan lupa untuk masing-masing mendaki cita-cita, belajar, berdo’a, bermain, menikmati persahabatan, dan komunikasi selama wajar pun insyaAllah baik-baik saja.”
** Dua minggu kemudian. Melalui YM.
”Gimana,” tanyaku kepadanya.
”Alhamdulillah, baik mas.” ekspresi senyum nya keluar. ”Saat hari itu, aku bilang dan semua berjalan baik sesuai rencana. Tidak ada air mata, tidak ada akhir yang gelap. Kita bisa berhubungan sebagai teman biasa.”
”Alhamdulillah.. bagus kalau gitu.”
”Tapi sehari setelahnya, ada sms yang tak termaafkan.”
”Oh...sms tak termaafkan? Maksut?”
”Ada sms tak dikenal siapa pengirimnya, dikirimkan kepada sahabatnya sehari sebelum hari itu. Dan sehari setelah hari itu, sahabatnya memberitahukan kepadanya”.
”Begini bunyi sms itu: ”Fulan memutuskan untuk berhenti pacaran. Tolong Anda (nama samaran perempuan tersebut) dikondisikan tentang pemahaman pacaran”.”
”Langsung, Anda mengirimkan pesan padaku mas. Begini : ”Aku tau maksud kalian baik.. tapi caranya aku tidak suka. Aku merasa dikhianati oleh kamu dan temanku, orang-orang yang kupercaya”.”
”Aku merasa. Akhir baik sehari sebelumnya menjadi usang. Buktinya, setelah sms itu dia tak pernah mau menjawab pesanku. Walaupun aku hanya meminta maaf.” dia selesai menjelaskan.
”Tapi, insyaAllah niat di pengirim sms itu baik. Hanya caranya yang tidak baik. Sabar saja ya.. kita lihat nanti. insyaAllah akan reda selang beberapa hari. Memang kalau tidak hati-hati, batas antara kebencian dan kasih sayang itu tipis. Sabar ya..” aku coba meredakan.
”Kira-kira, siapa yang mengirimklan sms itu ya mas?” tanyanya.
”Aku tak tahu persis. Coba kau tanyakan kepada beberapa orang yang pernah kau ceritakan tentang hal ini,” aku menjawab dengan sebuah rasa yang bercampur.
Dia memang pernah bercerita kepada dua orang temannya selain diriku, keduanya ’bocah’. Dan bahkan salah satunya seolah menjanjikan akan membantu melalui ’jaringannya’. Aku tak mau menuduh. Tapi, jaringan? Apakah semuanya dilakukan tanpa pemahaman akan kondisi manusia yang dihadapi?
Apa semua harus dengan pedang, belati atau tombak? Tidak kah kita melihat, betapa sering Rasulullah berbicara dengan sopan, kepada arab badui atau orang kafir yang banyak melakukan tindakan tidak sopan di depan Beliau. Sampai Umar pun berkali-kali meminta izin Rasul untuk memenggal kepala orang-orang tersebut, dan selalu dilarang. Atau Umar sendiri, yang karena tindakan membebaskan burung yang dikurung seorang anak kecil, dimimpikan berada di surga oleh sahabat mulia setelah beliau wafat, dalam perbincangan antara Utsman atau Ali. Tidak menyakiti manusia bahkan binatang, jika masih ada peluang kebaikan disana.
Tapi saat ini? Bukankah peluang kepahaman itu terbuka? Atau mungkin, karena mereka-mereka mungkin tak pernah merasakan ’tersakiti’. Sungguh, betapa itu tidak mengenakkan. Atau merasakan tidak nyamannya pernah ’menyakiti’ orang lain. Itu pun tak lebih enak dari ’tersakiti’. Hidupnya lurus. Sangat lurus. Dan dunia selalu baik-baik saja bagi mereka. Baik semuanya.
Aku tak tahu manusia seperti apa mereka Tapi satu aku meminta, Aku tak ingin seperti mereka .... -Seperti yang dituturkan seorang teman-
|
Ass....
Aku membaca ceritamu dan sungguh merasa terharu. Meskipun kamu ikhwan tapi tetap bisa bertindak dengan lembut tanpa menyakiti perasaan wanita. Jujur saja, aku merasa iri.......karena aku juga pernah di campakan oleh seorang lelaki yang memakai tameng agama saat melakukan hal tsb. Dan dia melakukannya dengan cara yang teramat kasar. Membuatku masih merasakan luka dan kepedihan sampai saat ini.
Well, 2 tumbs up for u, karena telah menegakkan syariah Islam dengan cara yang hanif. Tanpa menzalimi salah satu pihak.