Thursday, June 28, 2007
Illusions


What should I do first to save these full of illusions' world?

Should I ask Chomsky to be my guru?
Should I climb the shoulder of Kilimanjaro?
Should I contemplate under the Bodh tree?
Should I yell to Marlyn Manson "Yaaah!! Stop singing!!"
Should I learn kungfu then break Bush's tongue?

or...I just need to keep the Faith
Then every way will lead me there,
a world without illusions of any other Faith



*inspired by "Necessary Illusions",-Noam Chomsky
posted by Anonymous @ Permalink ¤21:33   2 comments
Ainun dan Pengajiannya

Terkejutlah hari itu Ainun, mendapati apa yang sudah dilakukannya ternyata masih jauh dari apa yang sahabatnya sudah lakukan. Al-Ma’tsurat setiap hari satu kali, 1 juz setiap harinya [walau pun beberapa kali kurang 2-3 lembar] dan sekian amalan lainnya bablas
Sahabatnya itu ternyata memiliki amalan yang super dahsyat, hafalan Al-Qur’an. Dan Ainun tak sempat pula berpikir sejauh itu.

Bukan hanya kali itu, dulu, sahabatnya yang lain pula, menunjukkan makna kesabaran dengan sangat gamblang. Begitu banyak pujian “sabar” disematkan kepada Ainun, namun semua itu rontok tak berbekas demi mendengar perkataan sahabatnya. “Mungkin saja dia terlambat karena kecapean. Sudahlah… Toh walau acara kita gagal kali ini, minimal ukhuwwah kita tetap terjaga. Nanti kita tabayyun saja kepada yang bersangkutan.” Perkataan itu diucapkan dengan tenang, sementara 1 jam lagi acara yang telah dipersiapkan berminggu-minggu akan segera dimulai.

Mempesona di setiap saat... Demikian kesimpulan Ainun atas sahabat-sahabat barunya itu. Seakan-akan dirinya dipacu untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Dan dengan kecepatan maksimum tentunya. Entah energi macam apa yang ada pada kelompok baru yang menjadi sahabatnya ini. Tersenyum di kala kerunyaman menggunung, bersabar di kala emosi sudah di ubun-ubun, dan tetap istiqomah dalam amalan harian yang seringkali dilupakannya dulu. Semenjak saat itulah, hatinya telah jatuh ke dalam persahabatan yang penuh cinta. Persahabatan yang mampu mengubah tutur katanya menjadi sangat santun, terutama kepada orang tuanya. Persahabatan yang tak hanya memupuk kesenangan, tapi juga menimbun sejuta cita tentang masa depan. Persahabatan yang memberikan rahasia sumber energi untuk mencapai citanya. Dan terkuak sudah sedikit jawaban atas pertanyaannya : ”Mau ke mana gerangan hidupmu, Nak?”

Dan kini, Ainun telah tumbuh besar. Bergabung dalam gelora perjuangan yang sama dengan sahabat-sahabatnya. Telah didapati pula pertentangan-pertentangan yang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Namun ia bersabar... Sama seperti sabarnya gerakan ini mendidik dirinya dulu. Sama seperti sabarnya sahabat-sahabatnya menerima dirinya apa adanya dulu.

Angin terasa semakin besar... Itulah yang akan dirasakan pohon yang semakin tinggi. Sudah sunnatullah, tiada guna berkeluh kesah. Maka, seperti biasanya, sore itu dengan riang dia masih berjalan menuju tempat pengajiannya. Masih dengan perasaan rindu yang sama; seminggu sudah tidak bertemu sahabat-sahabatnya yang baru, di kota baru. Tak ia hiraukan hiruk-pikuk fitnah yang bertebaran. Karena ia yakin, patokan ukuran bukanlah insan, melainkan manhaj. Karena ia mengetahui pula, sia-sia lah mereka yang berharap pada makhluq sementara Yang Abadi menanti di ”ujung jalan”. ”Apalah yang aku risaukan?”, pikir Ainun.. ”Sama seperti yang pernah diungkapkan Hasan al-Bashri, aku pun tak pernah risau dengan amalan orang lain. Cukuplah kulakukan amalku dengan itqon, maka perubahan kuyakini akan terjadi.”

Langkahnya dipercepat, sudah terbayang candaan2 dengan sahabatnya dan agenda2 yang terumuskan dengan santainya, untuk perbaikan ummat; yang sungguh2 sedang ia coba cintai, lebih dari cintanya kepada dirinya... Meniru qudwah-nya : Muhammad SAW

Catatan :
duhai ikhwah... begitu banyak Ainun-Ainun di sekitar kita
janganlah abaikan energi cintanya karena hanya masalah dunia...

Astaghfirullah...

~ akhukum filLah, masih dengan cinta yang sama ~
posted by agung @ Permalink ¤17:02   0 comments
Monday, June 25, 2007
Bercermin pada Ketidak-dewasaan
“Ya Rabb, jadikan futurku, bangkitku, tidurku,dan bangunku hikmah”

Kali ini saya ingin membahas kembali tentang masalah kedewasaan lagi. Bukan ingin protes atau menggerutu tapi mencoba berbagi hikmah tentang apa yang saya renungkan. Ini tentang keajaiban yang kita sebut “masa kecil”, dan tentang anugerah lainnya yaitu “dewasa”. Dua hal yang sering kita benturkan, seakan-akan sifat childish merupakan “musuh” dari kehidupan sebagai individu dewasa.

Semua itu berawal dari kekuatan dahsyat imajinasi

Pernah kebayang gak seandainya teknologi telekomunikasi gak pernah berkembang, mandeg alat komunikasi kita itu-itu aja. Bayangin gak pernah ada teknologi yang kita sebut GSM, CDMA, GPS, PDA, Wi-fi, atau yang lagi rada booming teknologi Handphone 3G. Bayangin juga seandainya tidak ada laptop atau PC di depan meja kerja kita. Bayangin juga seandainya sampe hari ini hanya ada telegram dan surat sebagai alat kita berkomunikasi antar daerah. Tentunya bagi kita yang sudah terlanjur dimanja dengan teknologi seperti sekarang hal itu serasa mustahil, kayak balik ke zaman batu katanya mah....!!

Kemarin saya baru saja menonton film dokumenter di Metro TV yang keren abis!!! Film itu cerita tentang rahasia dibalik kemajuan teknologi telekomunikasi, yang secara khusus menyoroti Perusahaan Samsung. Film ini keren banget karena merangkum semua yang secara teoritik telah disampaikan pak Gde Raka di Maninov, Pak Joko Siswanto di Sistem MSDM, dan Pak Iwan di Psikologi Industri. Dengan kata lain, film ini isinya TI banget, tapi disini saya hanya akan membahas aspek rekayasa dan inovasinya aja.

Berterimakasihlah pada otak-otak kreatif yang membanjiri industri telekomunikasi dengan ide brilian yang tidak habisnya. Tanpa kita sadari dari “kepolosan” imajinasi mereka, kebebasan pikiran mereka dan terutama gejolak kreativitas yang tanpa batas, hal yang dulunya mustahil kini menjadi nyata dan biasa bagi generasi post-modern ini. Itu semua tanpa kita sadari sebenarnya muncul dari pola berpikir kekanak-kanakan mereka, para desainer produk itu. Contoh kecil itu, plus sederet ilmuwan sekelas Newton, Da Vinci, Ibnu Sina bahkan Einstein sekalipun cukup untuk menjadi suatu alasan bahwa imajinasi kekanak-kanakan bukan suatu pantangan untuk menjadi lebih dewasa.

Harmonisasi sisi dewasa dan kanak-kanak kita

Namun kemudian muncul suatu pertanyaan, lalu mengapa ketidakdewasaan menjadi suatu masalah besar bagi sebagian orang. Mengapa kemudian ia seakan menjadi suatu penyakit yang harus dijauhi. Apa dengan meninggalkan sifat kekanak-kanakan kita akan membantu kita untuk semakin berwatak dewasa? Apakah sifat kekanak-kanakan kita adalah aib yang harus dibuang agar kita dapat menjadi manusia seutuhnya. Atau justru orang yang alergi dengan ketidak dewasaan tadi hanyalah orang dungu berpikiran dangkal yang jauh dari kemauan berkembang.

Sekali lagi menghindar dari menggerutu, kemudian saya pikir justru malah ada hikmahnya Allah memnyisakan sifat ketidak dewasaan dalam pikiran dewasa kita. Justru sifat ketidak dewasaan kita adalah alat kita untuk bercermin menjadi lebih dewasa. Kadang kekakuan pikiran dewasa kita membuat pikiran kita menjadi terlalu rumit dan njelimet dalam melihat masalah. Masalah sekitar kehidupan kita yang ribet itu mungkin saja justru menemukan solusinya dalam imajinasi childish kita yang sederhana, polos dan naif. Terbukti dari studi kasus teknologi HP Samsung diatas.

Tentunya pendapat saya ini bukan suatu keberpihakan terhadap sifat kekanak-kanakan. Justru baik sisi kanak-kanak kita maupun sisi dewasa kita harus berjalan harmonis agar hidup kita menakjubkan. Keduanya sebaiknya kita lihat sebagai dua sisi mata uang yang saling menguatkan satu sama lain. Karena sisi kekanak-kanakan yang terlalu dominan pun membuat kita rapuh terhadap hantaman masalah hidup. Kita akan dengan mudah terombang-ambing dalam imajinasi kita, sehingga saat berbenturan dengan realita yang kontras kita mudah menyerah, stress, depresi.

Karena itulah saya berpikir untuk membahas sisi sebaliknya tentang ketidak dewasaan. Sisi gelap dari perilaku kekanak-kanakan yang dapat mengacaukan kehidupan kita, yaitu sikap reaktif. Suatu kelebihan dari pikiran dewasa kita adalah sistematis, runut dan teratur yang menghasilkan sikap proaktif. Hal ini sebenarnya tidak sepenuhnya berlawanan menurut saya, justru dapat berjalan sinergis dan konstruktif.

Gejolak reaktifitas dalam diri kita dapat kita manfaatkan untuk mensimulasikan perilaku kekanak-kanakan kita tanpa menunjukkannya didunia nyata. Hal tersebut mendorong kita untuk sigap berpikir, namun cermat bertindak. Dari simulasi tersebut kita dapat memunculkan pertanyaan bagi diri kita, “jika saya bereaksi begini, bagaimana feedbacknya?”.

Mungkin kesalahan yang saya alami dapat menjadi contoh, yaitu bagaimana saya kurang dapat mengontrol sikap reaktif dalam menghadapi suatu masalah. Hal ini diperparah juga dengan sifat yang agak emosional dalam menyikapi masalah tersebut. Sikap saya tersebut tak jarang berakhir konyol dan memposisikan saya dalam akhir yang memalukan. Kemudian saya sadari bahwa hal tersebut tak perlu terjadi seandainya saja saya tidak menunjukkan sikap reaktif tersebut. Dengan mengeluarkan reaktivitas saya tadi dalam imajinasi saya, maka saya dapat memprediksikan apa dampak negatifnya tanpa harus mengalaminya langsung. Dengan begitu saya dapat lebih berhati-hati dalam bersikap dan dapat merespon dengan tepat atau dengan cara lebih baik (ahsan).

Itulah mengapa saya coba menggunakan kata bercermin dalam judul tulisan ini. Bercermin dapat kita tafsirkan sebagai usaha untuk melihat sisi-sisi diri kita yang kadang luput dari pandangan kita. Begitu pula dengan proses berpikir, khususnya problem solving. Kadang ada parameter/variabel dari masalah yang kita hadapi yang tidak terlihat oleh kakunya sisi kedewasaan kita. Hal tersebut mungkin saja dapat terdeteksi oleh imajinasi kanak-kanak kita.

Kita tidak perlu sampai berperilaku kekanak-kanakan untuk dapat menggunakan “cermin” tersebut. Cukup mensimulasikannya dalam pikiran kita, yang merupakan potensi utama kita sebagai manusia. Kita dapat memulainya dengan mempertanyakan “jika saya seorang bocah 5 atau 10 tahun, bagaimana saya melihat masalah ini?”. Atau misalnya dengan membiarkan imajinasi kita “bebas berkeliaran” sejenak, keluar dari kungkungan otak dewasa kita yang aus dan kolot. Atau apapun caranya agar kita dapat melihat sisi berbeda dari masalah tersebut yang tidak kita lihat sebelumnya.

Jangan Pernah Berhenti Bermimpi

Sebagai penutup, sebagai sebuah renungan saya ingin mengajak kita berpikir sejenak tentang betapa masa kecil merupakan sebuah anugerah yang tidak pantas kita lupakan. Mungkin pernah kita lihat film anak yang menggambarkan peri yang muncul saat masa kecil namun kemudian menghilang seiring usia yang beranjak dewasa. Begitu pula dengan imajinasi-imajinasi kita, yang bisa dikatakan hampir pasti berisi tentang keadaan dunia yang lebih baik. Jika itu kita miliki saat kecil, maka kita patut bersyukur, karena banyak anak-anak diluar sana tidak seberuntung kita, yang terhimpit trauma perang, bencana atau kemiskinan sehingga tidak lagi memiliki kesempatan punya mimpi.

Berbicara sedikit tentang “dunia yang hilang” saat kita beranjak dewasa. Tanpa kita sadari kedewasaan kadang membuat kita mengorbankan imajinasi kita waktu kecil. Hasilnya potensi besar yang dapat membuat kita merubah dunia jadi lebih baik tiba-tiba saja hilang. Berganti hal-hal rutin, teratur, terstruktur yang membuat kita berpikir linier tentang berbagai hal. Entah ada artinya bagi anda atau tidak, bagi saya berhenti punya mimpi gak berbeda dengan berhenti menjalani hidup. Karena tidak ada lagi sebuah “big deal” yang kita kejar saat itu. Kita berubah tak lebih sebagai mayat hidup yang terkungkung dalam sihir rutinitas keseharian kita.

Setelah kita miliki mimpi itu, selanjutnya adalah bagaimana menggunakan pikiran dan segala effort kita untuk mencapai mimpi itu, tentunya dengan tanpa meninggalkan prinsip hidup yang kita yakini. Karena hanya bermimpi sama saja dengan koma, tidak bergerak, terbuai biusan imajinasi kita sendiri. Mimpi harusnya membantu kita menjadi lebih teguh menghadapi realita hidup. Berani bangkit saat kita diuji dengan keterpurukan dan kegagalan. Semoga kita senantiasa dapat mengambil hikmah dari hidup yang kita jalani ini agar selalu menjadi hamba dan jundi-Nya yang lebih baik.

Ardian Perdana P.
*diedit seperlunya

posted by Trian Hendro A. @ Permalink ¤10:19   1 comments
Thursday, June 07, 2007
Sepucuk Surat dari Sahabat Dakwah FSLDK (We Miss U)

Hujan semakin deras mengguyur Depok. Jaket hijauku kurapatkan ke tubuh. Masjid Ukhuwwah UI cukup sepi, hanya beberapa orang ikhwan terlihat asyik menekuri mushaf Al-Quran di lantai bawah. Aku tidak mungkin balik ke Surabaya hari ini, karena besok masih ada bahan proposal yang harus aku cari di perpustakaan.

Alhamdulillah, ada adik ikhwan teman seperjuangan FSLDKN XII yang akan menjemput. Sekedar mengusir sepi, kuayun langkah ke arah mading. ‘Info FSLDK’, tulisan itu segera menyita perhatianku. FSLDK kembali mengadakan aksi serentak penolakan terhadap pelarangan jilbab di sekolah negeri oleh pemerintah Perancis. Targetnya Kedubes Perancis untuk Indonesia ‘di-PHK’. Wonderfull! Ghirahku menggelora. Aku ingat semua kenangan setahun lalu, suka duka FSLDKN XII.

“Afwan Mas, ana telat”. Suara seorang ikhwan mengagetkanku. Beriringan kami menuju mobil di depan gerbang mesjid. Di sepanjang jalan, Ahmad dengan sedih bercerita tentang kondisi tim FSLDK sekarang yang kurang semangat, kurang solid dan sederet kondisi lainnya. “Untuk mengkoordinir aksi jilbab Perancis itu saja sulit”, katanya.

Rona sedih mulai membayang di wajahku. Teringat betapa ikhwah-ikhwah sebelumnya yang penuh ghirah mengemban amanah ini. Aku ingat, waktu itu juga kami sempat mengalami ‘kelemahan ghirah’, sampai seorang ukhti mempersembahkan sebuah rangkaian kata mutiara yang tersusun indah, sebuah taushiyah. Seorang ukhti yang selalu mengusung amanah dakwah dengan penuh ghiroh jihad, walaupun kanker tengah menggerogoti tubuhnya. Semoga Allah merahmatimu di FirdausNya, ukhti fillah!

Untuk antum yang sedang mengemban amanah di Lembaga Dakwah Kampus –bersama Forum Silaturrahminya- serta antum yang mengemban amanah di wajihah mana pun, kubuka kembali copy surat taushiyah yang masih kusimpan indah sampai hari ini. Semoga untaian hikmahnya menyalakan kembali ghiroh juang kita, di wajihah mana pun kita.

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Subhanallah, nahmaduhu wa nastaghfiruhu, Ash-sholatu wassalamu ‘ala rasuluhu, Muhammad SAW.

Ana awali tulisan ini dengan merangkai basmalah dan istighfar, semoga Allah menjaga untaian kata ini dari berbagai fitnah, dan menjadikannya semata untuk perbaikan dakwah. Sebab, pada Allah lah semuanya bermuara. Nur-Nya lah yang akan mampu menunjuki kita pada perbaikan kualitas dalam mengemban amanah mewarisi misi para Nabi ini, Insya Allah.

Bersama bait-bait nada ‘La Tas-aluni’ dari klub nasyid Tarbiyah, ana menekan tuts-tuts keyboard, mengajak kita semua merenungi kembali dan bertanya kembali tentang kehidupan kita ini. “La tas-aluni ‘an hayati, fahia asrorul hayat …” (Jangan kalian tanya tentang hidupku. Ia adalah kehidupan yang penuh misteri... )

Kesempurnaan adalah sebuah hal yang mustahil kita raih, dalam kapasitas apa pun. Namun, cukup lah ke-Maha Sempurna-an Allah menjadi motivasi bagi kita untuk terus meningkatkan kualitas amal kita. Karena, kita bergantung kepada zat yang Maha Sempurna, akan kah kita ‘merasa nyaman’ dengan berbagai kekerdilan diri kita tanpa upaya perbaikan yang kontinyu?

Ikhwah,
FSLDK adalah sebuah amanah besar yang ada di pundak kita saat ini, dan di sekeliling kita, begitu banyak ikhwah yang setia menanti karya-karya besar kita untuk akselarasi dan sinergisasi gerak dakwah lewat wajihah Lembaga Dakwah Kampus ini. Perjalanan amanah ini menuntut profesionalisme kerja dari kita semua. Amanah yang nantinya akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Ikhwah,
Adalah layak untuk kita mengevaluasi perjalanan amanah kita sampai hari ini. Sudah optimalkah kita menjalankan amanah kita? Puluhan juta, bahkan ratusan juta dana yang kita habiskan tiap dwitahunan dalam washilah FSLDK, adakah itu sebanding dengan manfaat yang kita peroleh dalam penataan LDK se-Indonesia? Mari membuat daftar pertanyaan sebanyaknya!

Ikhwah,
Kalau jawabnya kita belum optimal, apa penyebabnya? Apakah pemahaman kita tentang washilah ini yang kurang, kemampuan kita kah yang terbatas, atau –naudzu billah- ruh dakwah kita kah yang mulai hambar? Kalau jawabnya tidak sebanding, apa yang harus kita lakukan? Manajemen kita kah yang harus diperbaiki, atau memang washilah ini kurang tepat guna?

Mari cari jawaban dari tiap pertanyaan itu!

Ikhwah,
Ana –dan ana yakin antum juga- punya sebuah ‘mimpi indah’. Mimpi yang membuat ana sedih, ketika di pagi hari ana dihadapkan pada kenyataan bahwa ana harus membuka jendela kamar. Kesedihan yang kemudian ana sadari semestinya menjadi bahan bakar ruh jihad dan nafas harokah islamiyyah. Antum tau, ketika itu aroma yang tertangkap oleh indera pembau adalah aroma kering … aroma kelelahan zaman menanti hadirnya sosok-sosok mujahid dakwah yang mengusung SEMANGAT BARU, menapaki jejak-jejak pemuda Ash-Habul Kahfi mencari ridho Ilahi.

‘Kegelisan zaman itu seakan berbisik lewat angin yang berhembus perlahan, bersama mentari yang mengintip malu di balik awan. Dia bergumam: kapan kah gerangan para warotsatul anbiya’ itu berteriak lantang untuk menebar semerbak harum syariat Islam di bumi ini?

SEMANGAT BARU JEJAK PEMUDA ASH-HABUL KAHFI MENCARI RIDHO ILAHI …………………….

Mimpi itu ikhwah, ana yakin bukan lah cerita negeri dongeng, atau lakon kartun yang utopi. Mimpi itu hanyalah sebuah harapan sederhana, yang berkisah tentang dakwah yang semerbak, bak bunga-bunga mekar di taman firdaus.

Bayangkan ……………..

Suatu hari antum terbangun di sepertiga akhir malam, sekitar jam 3 WIB. Setelah memanjatkan doa, antum bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Air wudhu mengaliri anggota tubuhnya meninggalkan kesejukan yang lembut. Lalu pakaian sholat yang harum mulai antum rapikan di tubuh yang ringkih ini. Sesaat sebelum lafaz niat qiyamullail antum lantunkan, indera pendengar antum menangkap sayup-sayup suara tangis yang syahdu menyayat hati. Subhanallah, suara itu milik tetangga sebelah kanan rumah yang sedang qiyamul lail juga. Bukan suara tangis menahan malu karena aib yang tercoreng akibat pergaulan anak gadisnya, bukan pula korupsi yang dilakukan sang ayah atau sejenisnya. Antum pun tertegun sesaat, sembari menggeser posisi sajadah yang mulai ‘kumal’ di ujungnya, pertanda sering dipakai sujud.

Tarikan nafas perlahan berusaha menghadirkan segenap molekul tubuh, dalam ‘perjalanan cinta’ yang akan antum lakukan, menemui zat yang antum akui sebagai Ilah, zat yang padaNya, semua harap dan cinta bermuara. “Yaa ayyuhal-ladziina aamanuu, hal adullukum ‘alaa tijaarotin tunjiikum min ‘adzabin aliim? Tu’minuuna billaahi wa rosuulihii wa tujaahiduuna fi sabiilillah …” lamat-lamat lantunan kalam ilahi itu kembali menyita perhatian antum. Suara itu mengalun syahdu diiringi sesekali isak tangis, seirama dengan tiap kata yang terucap. Pemiliknya tak lain adalah pemuda tetangga sebelah kiri rumah antum.

Perniagaan yang menguntungkan … Rabb … indah nian ni’matMu pada kami yang hina ini. Takbiratul ihram pun antum lantunkan penuh kasyahdua., Kesyahduan yang membawa rindu membuncah, bertemu dengan Rabb sekalian alam.

Suara adzan di masjid mengakhiri untaian do’a panjang antum. Sebuah doa yang berisi pengaduan akan begitu banyak kelemahan dan kesalahan diri, dalam mengemban amanah menjadi khalifah Allah di bumi, amanah yang sebelumnya ditolak oleh seluruh langit dan bumi. Do’a itu berharap pula akan pertolongan Allah untuk para mujahidun di berbagai belahan bumi. Mereka … para pahlawan sejati yang telah menukar Ridha Allah dengan harta, tenaga, dan jiwa mereka.

Mereka … para petarung yang tak pernah surut walau selangkah, dan tak pernah henti walau sejenak. Mereka yang dengan lantang selalu meneriakkan: ALLAHU AKBAR!!! Dalam tiap ritme perjuangannya.

Hampir saja antum tidak mendapat tempat dalam barisan jamaah shalat shubuh, karena antum tiba terlambat, tepat saat muadzzin membaca iqomat. Seluruh jamaah berdiri dalam shaf yang rapi. Pakaian rapi melengkapi wajah-wajah teduh yang selalu terbasuh air wudhu itu. Allah … serasa shalat bersama jamaah para shahabat, degan Rasulullah SAW menjadi sang imam. Kerinduan akan jannahNya semakin membuncah.

Jam menunjukkan pukul tujuh ketika antum membaca doa keluar rumah, dan mengawali langkah dengan kaki kanan. Antum akan menuju kampus hari ini. Di halte, bus kampus berhenti ‘menjemput’ antum. Dengan riang antum menyapa pak sopir lewat salam : “assalamu’alaikum pak, shobahal khoir …”. Tentu antum tak perlu berkelit kesana kemari menghindari bersentuhan dengan non-mahrom, karena bus hanya terisi kaum sejenis dengan antum; Tak Ada Ikhtilath!

Sampai di kampus, antum menikmati kuliah dengan tenang, tanpa harus khawatir akan terkena zina mata, zina hati de-el-el, karena semuanya berjalan dalam sebuah sistem qurani. Setiap bahasan akan mampu meningkatkan ruhiyah antum. Satu lagi … semua fasilitas dapat antum nikmati GRATIS!, karena zakat, infak dan shadaqah kaum muslimin lebih dari cukup untuk membiayai semuanya. SUBHANALLAH ….!!!

Innamal Mu’minuuna ikhwah … Hari itu antum lalui dengan aktivitas yang membangun ‘kesalihan pribadi dan ummat’. Antum saksikan pula bagaimana Allah memenangkan hambaNya lewat ukhuuwwah yang terangkai indah. ISLAM ADALAH RAHMATAN LIL ‘ALAMIN.

Sekarang … buka lah mata antum, lihat lah kembali realita! Ternyata, kita belum dalam dunia indah tadi! Kita masih di sini! Di Sumatera, di Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua … yang masih menanti perjuangan para mujahid. Kita masih berjuang di sini! Di FKI Rabbani, Salam, Gamais, JN UKMI, JMMI, Pusdima, Sentra Kerohanian Islam, UKM Birohmah, dan lainnya. Berjuang lewat wajihah LDK tuk sebuah tujuan mulia: TEGAKNYA IZZAH ISLAM WAL MUSLIMUN!

Dan … perjalanan perjuangan itu ikhwah. Masih jauh … hampir tak bertemu ujung. Penuh aral nan melintang, penuh onak dan duri. Karena Langkah ini adalah langkah-langkah abadi. Menapak tegak laju tanpa henti. Tak pernah rasa rugi menapak jalan ini, Syurga Allah menanti

Sekali lagi ikhwah, kita masih di sini! Di jalan dakwah ini! Kita di sini untuk berjuang! Setia mengusung cita: HIDUP MULIA ATAU SYAHID MENGGAPAI SYURGA!

Karena itu ikhwah … Mari berkarya, dengan yang terbaik yang kita punya tentunya. Jangan pernah malas dan jemu berkorban untuk perniagaan ini! Berjuanglah ikhwah! Dan teruslah berjuang! Sampai Allah, RasulNya dan orang-orang mukmin menjadi saksi akan perjuangan itu. AllahuAkbar!!!

ukhti uni
Eramuslim, 19/02/2004

posted by Trian Hendro A. @ Permalink ¤13:42   6 comments

about me
dakwah bukan hanya amanah dan kesempatan, melainkan juga sebuah anugerah. dan karenanya pula manusia berhak untuk menikmati indahnya...
Udah Lewat
Archives
Rosail

"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang maâ??ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah ..."
(QS. Ali Imran [3] : 110)

"Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ..."
(QS. An Nahl [16] : 125)

Links
Beranda

Berbagilah, karena cerita ini akan menjadi hikmah bagi saudara kita. jangan kau simpan itu, dan tidak membuat saudaramu merasakan nikmatnya kisahmu...

cerita.dk@gmail.com
subyek: cerita...


Blog ini makin hidup, jika kita menjalin pertisipasi bersama. Seperti halnya sebuah rumah teduh, dengan kicauan burung di berandanya

Komentar

Kontributor
Ingin Menjadi kontributor? Silahkan kirim mail kesanggupan dengan nama jelas.
Kesan

Free shoutbox @ ShoutMix

Now, online visitor(s)
Pengunjung


Cerita Dakwah Kampus

Feed on
Post-rss
Post-default
Comments-default
Designed-By

Visit Me Klik It
Credite
15n41n1