Ibu guru dulu pernah berkata. Salah satu ciri makhluk hidup adalah bergerak. Kucing berlari menggerakkan kakinya. Burung terbang mengepakkan sayapnya. Harimau makan menancapkan taringnya. Elang menyambar mangsa dengan mencengkeramkan cakarnya. Tumbuhan pun bergerak meninggikan batangnya, melebarkan daunnya, dan menyebarkan akarnya. Semuanya bergerak demi mempertahankan hidup. Bila tidak bergerak? Matilah dia! Saat diam pun makhluk hidup tetap bergerak. Jantung terus berdetak memompa darah. Sehingga darah pun mengalir melalui pembuluh darah menuju seluruh tubuh. Paru-paru kembang-kempis menyerap oksigen. Kemudian oksigen didistribusikan bersama dengan aliran darah. Organ-organ industri pencernaan pun terus bekerja mengolah bahan makanan menjadi barang jadi yang siap didistribusikan kepada yang membutuhkan. Sel-sel dalam tubuh terus membelah. Jika ada jaringan tubuh yang rusak, sel itu bekerja memperbaikinya. Semuanya berdinamika demi mendukung keberlangsungan hidup sang makhluk. Apa jadinya apabila semua elemen itu diam? Apa jadinya jika jantung berhenti berdetak, paru-paru berhenti mengembang, organ pencernaan tidak bekerja, dan sel-sel tubuh berhenti membelah diri? Maka yakinlah, itulah tanda-tanda kematian. Lantas, apa konsekuensi yang diterima sesosok makhluk mati? Ia tidak berguna, ditinggalkan, dikubur, membusuk, dan lenyap dari peredaran dunia. Tak lama kemudian lahirlah makhluk baru yang bernama bayi. Kelahirannya dinantikan orang tua. Pecahan tangisnya membahagiakan sanak saudara. Harapan baru muncul dari ekspresi wajahnya. Semua perhatian tertuju kepadanya. Dan si makhluk mati pun semakin dilupakan seiring semakin sehatnya Sang Bayi. Begitulah analogi kehidupan kita sebagai orang yang mengklaim dirinya da’i. Silakan renungkan sendiri… bocah_bagus (staf dept hoebloe yang selaloe mengoetamakan penggoenaan bahasa indonesia dengan baik dan benar sesoeai Edjaan Jang Disempoernakan) |