Friday, May 25, 2007 |
Membina Diri Menjadi Murabbi |
Menjadi orang yang shalih dan mushlih adalah buah yang kita harapkan dari proses pembinaan yang kita jalani. Shalih secara pribadi dan mengupayakan tumbuh kembangnya keshalihan pada orang lain merupakan teladan dari Rasulullah SAW dan para salafushshalih yang sepatutnya kita ikuti. Alhamdulillah, saat ini sangat banyak di antara kita yang mendapatkan kesempatan menjadi mentor atau murabbi baik di kampus maupun sekolah. Sesungguhnya yang kita inginkan bukanlah semata banyaknya jumlah adik mentor atau mutarabbi kita.
Akan tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana agar kuantitas dan kualitas selalu merupakan fungsi yang bergradien positif. Atau menurut slogan seorang ikhwah,”Daripada berjuang bersama 20 orang tapi tidak berkualitas, lebih baik berjuang bersama 2000 orang yang berkualitas.” Kunci utama peningkatan kualitas umat ini terletak di tangan para penyeru seruan Islam itu sendiri. Atau dalam konteks ini berarti penentu penjagaan dan peningkatan kualitas keshalihan para adik mentor/mutarabbi adalah para mentor/murabbi itu sendiri.
Berikut ini adalah beberapa karakteristik yang mesti kita usahakan agar melekat pada diri para mentor/murabbi : 1. Al-Fahmu As-syamil al-kamil, yaitu pemahaman yang sempurna dan menyeluruh terhadap dasar-dasar keislaman dan rambu-rambu petunjuknya, juga terhadap apa yaang akan didakwahkannya, karena seorang mentor/murabbi akan mentarbiyah seseorang yang memiliki akal, perasaan dan pemahaman, dan orang tersebut akan merefleksikan apa yang didengar dan diperhatikan dari sang mentor/murabbi, maka apabila seorang mentor/murabbi tidak memiliki level pengetahuan yang memadai dan wawasan pemahaman yang menyeluruh tentang dasar-dasar keislaman, maka hal itu akan memindahkan sebuah kebodohan kepada adik mentor/mutarabbinya, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah dalam pembentukan kepribadian muslim sang adik mentor/mutarabbi itu sendiri.
2. Waqi’ ‘Amaly, yaitu keteladanan sang mentor/murabbi dengan amal perbuatannya yang secara real tampak jelas pada perilakunya, seperti geraknya, diamnya, bicaranya, atributnya, pandangannya dan ibrohnya, seluruh keteladanan itu adalah buah refleksi dari pengaruh keimanan dan pemahaman dalam kehidupan sang mentor/murabbi, dalam rangka memberikan pengaruh keteladanan yang baik (Qudwah shalihah) pada saat kemunculannya di tengah-tengah masyarakat.
Seorang ulama, Hasan Al-Banna mensifati murabbi dengan sebutan da’i mujahid, lebih jelasnya beliau menyebutkan bahwa da’i mujahid adalah : “Sosok seorang da’i yang telah mempersiapkan segala sesuatunya, yang terus menerus berfikir, besar perhatiannya dan siap siaga selalu”. Begitulah seharusnya seorang mentor/murabbi, tercermin iman dan keyakinannya pada perilaku dan amalnya. Berdasarkan penelitian pada perjalanan kehidupan sang mentor/murabbi, bahwa pengaruh mereka terhadap banyak orang lebih banyak berasal dari perilaku dan akhlaknya yang istiqomah di setiap keadaan. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa “Manthiqal Af’al aqwa min manthiqil aqwal” ( Logika amal / perbuatan lebih kuat dari logika kata-kata). Dikatakan pula oleh ulama salafushashalih : “Man lam tuhadzdzibka ru’yatuhu fa’lam annahu ghairu Muhaadzdzab” (Barang siapa yang tidak mendidikmu ketika engkau melihatnya maka ketahuilah bahwa orang itu juga tidak terdidik).
Al-imam Syafi’i rahimahullohu berkata : “Man wa’adzho akhohu bifi’lihi kaana Haadiyan” (Barang siapa yang menasehati seudaranya dengan amal perbuatannya maka berarti ia telah menunjukinya”. Oleh karena itu keteladanan adalah fokus yang sangat sensitif dan halus, karena apa yang tampak pada dirinya jauh lebih besar pengaruhnya dari apa yang diucapkannya (Al-Mandzhor a’dzhomu ta’tsiran minal qoul). 3. Al-khibroh binnufus, yaitu berpengalaman dalam memahami aspek kejiwaan, karena sesungguhnya lapangan kerja seorang mentor/murabbi tidak lain adalah kejiwaan, bergumul dengannya dan menjadikannya sasaran yang pertama dan terakhir dalam proses tarbiyah, sedangkan jiwa tidak seperti gigi sisir, akan tetapi jiwa orang berbeda satu dengan yang lainnya, ada yang lemah, ada yang kuat, ada yang peka dan over sensitif. Ada yang lembut , ada yang keras,bebal dan sebagainya.
Oleh karena itu seorang mentor/murabbi hendaknya menyikapi seseorang sesuai dengan kejiwaannya dan berhati-hati dalam berinteraksi dengannya, maka jangan bersikap terlalu tegas dan keras kepada orang yang jiwanya halus dan peka, melainkan harus dihadapi dengan lemah lembut , sebaliknya orang yang jiwanya keras harus dihadapi dengan ketegasan jika ia lalai dan menyimpang. Adalah Rosululloh SAW sosok murabbi pertama yang berpengalaman dalam ilmu jiwa, beliau tidak mempergauli para sahabatnya dengan sikap yang sama antara yang satu dan lainnya, karena beliau sangat tahu akan tabiat manusia dan kejiwaan mereka. Dalam hadits riwayat Bukhari dari Abdulloh ibnu mas’ud RA. Beliau bersabda : “Adalah Rosululloh SAW pernah beberapa hari lamanya tidak memberikan nasehat dan wejangan kepada kami, karena beliau takut kami menjadi bosan” (Al-Hadits)
Berkaitan dengan Al-khibroh binnufus, banyak contoh keteladanan dari murabbi zaman ini, diantara mereka adalah Hasan al-Banna, di mana telah terjadi dialog antara beliau dengan salah seorang ikhwah, Ikhwah tersebut berkata : “Sesungguhnya ana lagi banyak muskilah dan banyak yang ingin ana adukan kepada Antum, masalah yang ana hadapi ada yang bersifat umum dan ada yang khusus”, maka kata Hasan Al-Banna : “Sudahlah jangan bebani diri Antum dengan masalah itu, serahkan urusan Antum kepada Alloh”, “Tapi, ana ingin Antum tahu”, sergah Akh tersebut, “Sesungguhnya ana sudah tahu” kata Al Banna seraya meyakinkan Akh tersebut, “Jadi ana bahagia kalau antum mau tahu” balas akh tersebut.
Akan tetapi belum sempat ana memulai curhat, beliau sudah mendahuluiku dengan rentetan musykilah dan keluhan yang dialaminya sendiri, bahkan yang mengherankan apa yang diutarakannya sama dengan apa yang ana rasakan . setelah beliau selesai berbicara, maka ana pun berkata kepadanya : “Ya ustadz….. demi Alloh sungguh ana sangat bahagia, dan ana tidak akan mengeluh lagi”, ana mengatakan semua itu sambil terisak dan bercucuran air mata”.
(Tawazun)
|
posted by cerita dakwah kampus @ Permalink ¤09:56 |
|
Friday, May 18, 2007 |
Memahami akademik dan keprofesian |
Entah sejak kapan, kata ‘keprofesian’ mulai banyak didengang-dengungkan di kalangan penggiat dakwah kampus. Kadang-kadang kata itu disandingkan dengan ‘akademik’, menjadi dua kata sakti, yang kadang dijadikan pembenaran atau malah dipakai untuk menyalahkan (bagi yang tidak ‘tawazun’): keprofesian dan akademik. Apa sejak disadari bahwa para ADK itu ahli, kecuali di bidang profesinya? Dinilai bagus oleh semua orang, kecuali oleh dosennya? Atau sejak dakwah ini konon memasuki fase selanjutnya, menjelang fase dauliy katanya, sehingga dibutuhkan para ahli yang kompeten? Atau malahan sejak peraturan batas menjadi mahasiswa maksimal 7 (lalu 6) tahun, dan lebih dari 5 tahun membayar SPP (yang sudah cukup mahal itu) 2 kali? Entahlah. Yang jelas dua kata itu sudah mewabah,yang sering kita dengar, masuk ke telinga kita, diserapi nalar kita, dikeluarkan mulut-mulut kita, dan bahkan menjadi paradigma(?). Kita pernah mendengar: syuro akademis dan profesi, mas’ul akademis-profesi, organisasi keprofesian, visi keprofesian. Tapi, sebenarnya apakah ‘akademis dan keprofesian’ itu? Apakah ia: Keahlian? Kompetensi? Belajar yang rajin? IPK tinggi? Riset? Lomba-lomba keilmuan? Lalu kenapa, ia seolah sangat berbeda, bahkan beberapa bilang agak ‘bertentangan’ dengan dunia aktivitas, ‘dunia gerakan’?
Tulisan ini merupakan ikhtiar sederhana penulisnya untuk memahami tentang ‘akademis dan keprofesian’ (selanjutnya akan disingkat ‘akpro’) ini. Beberapa mungkin heran, kenapa tema akpro ini koq di kolom Muharik, yang menurut TOR-nya: mengarahkan momentum apapun menjadi ide pergerakan. Bukannya beda banget ya, antara akpro dan ‘gerakan’? Mari kita pahami bersama.
Zaman Yunani dulu, di Athena terdapat bangunan khusus tempat Plato mengajarkan ajaran-ajaran filosofisnya. Akademeia, nama bangunan itu, kemudian dipinjam oleh peradaban Barat yang merupakan penerus Yunani-Romawi itu menjadi academy dalam bahasa Inggris, yang para anggotanya disebut academicien dalam bahasa Prancis, dan di Indonesia secara memalukan kata akademia malah dipakai untuk menyebut para calon bintang AFI. Dalam Oxford dictionary, academic artinya 1. scholarly, of learning. 2. of no practical relevance; theoretical.
Dari sini, kita dapat menyimpulkan apa sih yang dimaksud dengan akademik secara bahasa, yaitu yang berhubungan dengan teori, persekolahan, perkuliahan, belajar (di sekolah dan sejenisnya), dll. Lalu apa arti keprofesian? Konon kata profesi berasal dari proficio (bahasa Latin) yang artinya advance, “maju”, atau “ahli”. Profesi sendiri bisa diartikan secara sederhana sebagai pekerjaan, hal yang paling ahli dilakukan oleh seseorang, atau malah sebuah calling, panggilan. Kita sering dengar, “lakukan secara profesional!”, artinya ya lakukan “seahli-ahlinya, sebaik-baiknya”. Ada yang pernah bilang, apapun dia jadinya nanti, profesinya tetap da’I, karena ia merasa itulah panggilannya. Seorang sahabat pernah mengeluh dengan yang dia sebut ‘fokus kepada akademis dan keprofesian’, yang dalam persepsi beliau (atau malah semua kita?) adalah belajar kuliah dengan rajin, sehingga mendapat nilai baik (minimal IP diatas 3.5 lah…), dan menjadi kompeten di bidang profesinya. Katanya lebih lanjut, “ya emang itu semangat yang terasa sekarang…”. Ia, seperti juga beberapa teman yang lain, khawatir dengan menanjaknya wacana akpro ini mengancam dunia aktivitas, dunia ‘gerakan’. Atau malah menyempitkan sudut pandang ADK, sehingga menjadi sangat mengutamakan nilai-nilainya dan IPK-nya dulu.
Waduh, kalaulah memang seperti itu, gawatlah nasib Dakwah Kampus kita!
Namun, sebenarnya tidak. Bukan seperti itu maksudnya. Ketika akademik diartikan sebagai yang berhubungan dengan persekolahan, perkuliahan, atau belajar di insitusi pendidikan, maka pertanyaan selanjutnya ialah apa sebenarnya tujuan adanya institusi pendidikan ini? Menggapai rata-rata nilai yang tinggi untuk mahasiswanya kah? Jumlah doktor yang banyak kah?
Menurut Naquib al-Attas, tokoh terkemuka pendidikan Islam, tujuan pendidikan Islam itu personal, mendidik manusia. Pendidikan Islam tidak ditujukan untuk masyarakat, berbeda dengan pendidikan liberal barat, juga berbeda dengan pendidikan liberasionis ala Freire yang orientasinya ke masyarakat. Yang pertama untuk mengisi pos-pos yang ada di masyarakat, yang kedua untuk menyadarkan struktur penindasan (fisik, ataupun mental) yang terjadi di masyarakat. Tujuan pendidikan Islam ialah mendidik manusia, yang ia merupakan bagian dari masyarakatnya (karenanya kita dapat menarik kesimpulan masyarakat pun secara inheren telah masuk dalam pendidikan Islam), dan juga ia adalah makhluk 4JJI yang akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya secara personal sebagai manusia di hari akhir kelak. Karenanya, Nabi pun diutus untuk menyempurnakan akhlak. Membentuk karakter kita. Menekuni hal-hal akademis dalam institusi pendidikan, pada esensinya, ya berarti berusaha mendidik akhlak kita, membentuk karakter kita. Bukan nilai tinggi, bukan lulus cum laude (meskipun itu juga sangat bagus!).
Lalu bagaimana dengan keprofesian? Ingat, dalam pengertiannya, profesi tak sekedar keahlian atau kompetensi belaka. Profesi juga sebuah calling, panggilan jiwa. Dari dalam. Karenanya jangan heran, karena profesi adalah panggilan dari dalam, ada atribut-atribut sifat-sifat mulia dalam tiap profesi, yang dinyatakan secara formal ataupun yang tersirat. Seorang dokter mengucapkan sumpah Hippocrates, janji ia untuk jujur dan ikhlas menjalankan profesinya. Pengacara punya kode etik pengacara, yang amanah menjaga rahasia klien. Engineer mungkin tak punya sumpah insinyur, tapi ya secara tersirat seharusnya seorang insinyur berkarakter sebagai problem solver. Lagi-lagi kita menjumpai serangkaian kata sifat, yang merupakan karakter juga. Akhlak juga.
Sama saja tho dengan yang biasa kita pahami saat beraktivitas? Dimana pun kita beraktivitas, semuanya jadi sarana kita untuk tadhrib amal. Dengan beraktivitas kita berlatih meningkatkan kepekaan kita, berlatih memahami orang lain dan diri sendiri, berlatih mengenali lingkungan, berlatih bersabar, berlatih berempati, berlatih…membentuk karakter kita!
Semuanya terangkum dalam harakah, dalam gerakan. Kenapa? Sederhana, karena semuanya hal di atas tak ada yang bisa dilakukan tanpa gerakan. Tanpa gerakan sel-sel kelabu kita untuk berpikir, otot kita untuk berjalan, mulut kita untuk berteriak menentang kezaliman.
Yang gawat adalah ketika kita memahami secara terpisah, dan melupakan tujuan pendidikan Islam, juga alasan syiar Nabi: menyempurnakan akhlak. Karenanya Muharik pun bukanlah ‘kolom kemahasiswaan’, tapi jelas kolom gerakan. Gerakan bukan menjadi monopoli yang beraktivitas saja, seperti juga akpro yang tidak berarti pencapaian kompetensi belaka. Semuanya dalam rangka mentarbiyah diri kita.
Wallahu a’lam bis showaab, Dan Hanya ALLAH Yang Maha Mengetahui. (lucky luqman) |
posted by cerita dakwah kampus @ Permalink ¤09:40 |
|
|
|
about me |
dakwah bukan hanya amanah dan kesempatan, melainkan juga sebuah anugerah. dan karenanya pula manusia berhak untuk menikmati indahnya... |
Udah Lewat |
|
Archives |
|
Rosail |
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang maâ??ruf dan mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah ..." (QS. Ali Imran [3] : 110)
"Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik ..." (QS. An Nahl [16] : 125) |
Links |
|
Beranda |
Berbagilah, karena cerita ini akan menjadi hikmah bagi saudara kita. jangan kau simpan itu, dan tidak membuat saudaramu merasakan nikmatnya kisahmu...
cerita.dk@gmail.com
subyek: cerita...
Blog ini makin hidup, jika kita menjalin pertisipasi bersama. Seperti halnya sebuah rumah teduh, dengan kicauan burung di berandanya |
Komentar |
|
Kontributor |
Ingin Menjadi kontributor? Silahkan kirim mail kesanggupan dengan nama jelas.
|
Kesan |
| |