Pernahkah kita duduk dan mendengarnya bercerita tentang kisahnya hari ini? Bagaimana repotnya membuat menu makanan hari ini, atau sibuknya mengurus adik kita yang balita, atau sedihnya karena mendapat jatah belanja yang dikurangi, atau kisah lainnya. Tidak ada bahasa lain yang ia gunakan selain bahasa cinta. Meski ia tidak tahu bagaimana kisah cinta para pahlawan badar, atau pahlawan ahzab, namun ia tahu arti pengorbanan. Pernahkah kita tatap wajah bunda saat tidur? Guratan kelelahan tampak jelas di wajahnya, tapi tak sekali pun kita dapati bibirnya letih tuk tersenyum. Hari demi hari ia lalui bersama kita dengan setumpuk harap. Meski mungkin raganya tidak bersama kita. Kisah apa yang kita ceritakan padanya hari ini? Layakkah kita menceritakan kisah sedih, padahal segudang nikmat kita peroleh? Apakah artinya kesedihan, padahal kita mendapat nikmat yang banyak untuk diceritakan? Kenapa kita harus menceritakan tentang payahnya manajemen manusia, atau menurunnya kualitas dan kuantitas pahlawan, atau melempemnya daya juang….apapun itu bahasa kita? Padahal kita bisa bercerita banyak tentang hikmah keikhlasan atau buah kesabaran atau nikmat ilmu pengetahuan yang membuatnya yakin bahwa anaknya telah tumbuh dewasa. "Sembahlah Alloh dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak…" (An nisa: 36) "Katakanlah, 'Mari kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak…." (Al An'am : 151) ”Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya…….." (Al Isro: 23) "Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW untuk berjihad maka beliau bertanya "Apakah kedua orang tuamu masih hidup?" orang itu menjawab "Ya". Beliau bersabda " Dalam berbakti kepada keduanyalah hendaknya kamu berjihad" (Bukhori dan Muslim) Semoga kita tidak pernah lupa untuk selalu mengecup tangannya di awal hari dan meminta do'a sambil berkata "Bunda, ananda minta izin pergi berjihad". Tunggulah sebentar, jika ia mengangguk tanda setuju maka berangkatlah. Jika tidak maka diamlah di tempat, kecuali sangat mendesak. Jika mengangguk tapi kau dapati wajahnya tidak setuju dan kau tahu ia begitu mengharapkan engkau tinggal, maka diamlah di tempat kecuali sangat mendesak…. "Dan berbakti kepada keduanyalah hendaknya kamu berjihad"…. Apakah karena ia tak mengenal semboyan para pejuang, lantas kita tak membutuhkan nasehatnya untuk menciptakan atau meneruskan perjuangan? Apakah karena zaman ini adalah zaman informasi sehingga kita tak butuh kebijakan orang-orang zaman "retro"? Bukankan sejarah itu di putar, seperti berputarnya kehidupan ini? Apa salah kalau kita meminta sarannya tentang manajemen konsentrasi dalam kuliah atau memotivasi manusia untuk berbuat baik atau memperbaiki kinerja kita dan organisasi? Sederhana bukan, hanya sebentar mengisi jadwal harian kita diantara agenda-agenda super penting lainnya, bercengkrama dengannya di awal dan di akhir hari. Sadarlah, kita sedang membangun sebuah rumah mungil di surga bersamanya…insya Alloh. Ada atau tidak adanya pahala berbakti, mencintai dan mentaatinya dalam kebajikan adalah haq. Wajib bagi kita dan hak baginya. Karena kita adalah hamba Alloh, bukan hamba pahala. "Suatu ketika aku tidur, bermimpi sedang berada di surga. Lantas aku mendengar suara seseorang yang membaca Al-Qur'an. Aku pun bertanya, 'Siapakah ini?' Mereka menjawab, 'Ini Haritsah bin Nu'man. Lantas Rasulullah SAW bersabda kepada Aisyah, 'Begitulah berbakti itu, begitulah berbakti itu.' Haritsah adalah seorang yang sangat berbakti kepada ibunya. Pernahkah kita mendengar munajatnya di malam hari? Memohon keselamatan dan ketegaran kita dalam menapaki jalan kebenaran. Air mata meng-amin-kan doanya. Jika di kala malam, kita tidak mendapati ia bersujud di sejadahnya, maukah kita membangunkannya dan dengan lembut berujar, "Bunda, rahmat Alloh turun di waktu malam". Karena ku yakin engkau selalu terjaga di saat rahmat itu hadir, sahabat. Di usianya yang lanjut, ketika penyakit mulai berdatangan, ia tak mampu lagi berpikir berat. Berbagi beban dengan sang ayah, atau ia pendam sendiri karena sang ayah tiada. Mungkinkah kita sanggup membasuh laranya, sedangkan cerita kita selalu sama, kekalahan? Insya Alloh, kan kita ganti cerita kita menjadi cerita tentang kemenangan. "Sungguh nista, sungguh nista, sungguh nista!" Ditanyakanlah, "Siapakah, Wahai Rasululloh?" Beliau bersabda, "Siapa yang menjumpai kedua orangtuanya dalam usia lanjut baik salah satu atau kedua-duanya, namun ia tidak masuk surga" Semoga kelak kita kan menikmati rumah mungil itu di surga…!
Di hari ketika harus pergi… 20 April 2006 Dika Amelia Ifani
|